TENTANG KAMI

Foto saya
MENUMBUHKAN JEJARING ANTAR KOMUNITAS FILM DI SELURUH NUSANTARA DALAM MENAMPILKAN GAMBAR HIDUP NUSANTARA

Rabu, 14 Juli 2010

Bioskop Masih Menjanjikan


“Bohong kalau dunia bisnis bioskop telah mati”, hal itu yang ditegaskan oleh Sutiono (61), seorang pemilik sejumlah bioskop di Jawa Timur.

Menurut pengusaha yang mengaku pernah menguasai 70 persen pasar bioskop di Jatim tsb, potensi bisnis bioskop masih sangat besar.

“Perhitungan saya, di Jakarta saja uang yang beredar di bisnis bioskop bisa mencapai Rp 50 miliar – Rp 100 Miliar per bulan. Di satu bisokop yang ramai, seperti di Plaza Senayan, saya menduga omzetnya bisa mencapai Rp 5 Miliar – Rp 7.5 Miliar per bulan”, ujar Setiono.

Dengan pola bagi hasil penjualan tiket sebesar 40 persen untuk pemilik film, 50 persen untuk pengusaha bioskop, dan 10 persen untuk pajak. Menurut Setiono, setiap pengusaha bioskop masih mendapatkan untung besar. “Biaya operasional, seperti bayar gaji pegawai dan listrik cukup diambil dari hasil penjualan popcorn dan minuman”, ujarnya.

Setiono mengakui, bisnis bioskop memang sempat terguncang dan anjlok gara-gara masuknya teknologi hiburan baru, seperti VCD dan DVD, dan maraknya TV swasta. Namun, semua itu tidak membuat masyarakat meninggalkan bioskop sama sekali. “Lihat saja film-film seperti Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi, orang masih rela antre untuk nonton bioskop”, tandas Setiono.

Dengan alsan ini, meski kerajaan bioskopnya sempat hancur di masa lalu, Setiono tetap mempertahanakan satu bioskopnya di Kota Malang dn bahkan membangun beberapa gedung baru di Lumajang, Jember dan Pasuruan. “Yang di Malang dan Pasuruan saya bekerja sama dengan pihak 21 sehingga masih bis memutar film-film baru. Sementara di Lumajang dan Jember seratus persen milik saya. Ya jadinya cuma bisa nunggu film yang sudah berumur 4-5 bulan”, ujarnya.

Ia menambahkan, jika ditunjang regulasi pemerintah dan sistem distribusi film yang lebih adil dan terbuka, bisnis bioskop akan berjaya kembali seperti era 1970-1980-an. “Saya tidak rela menutup bioskop – bisokop saya karena saya tahu persis di bisnis ini duitnya masih ada. Kecuali kalau penonton film sudah benar-benar habis”, kata Setiono.

Bagi Pesiden Direktur Blitz Megaplex Ananda Siregar, membangun bisokop dengan nilai investasi 3 juta – 4 Juta dolar AS per lokasi sebenarnya menguntungkan. Saat ini pun, meski hanya bisa memutar 14 judul film Indonesia (sampai Oktober) dan delapan judul pada tahun 2007, perolehan tiket di empat lokasi Blitz Megaplex di Bandung dan Jakarta melebihi biaya operasional alias untung. “Apalagi jika semua film Indonesia diputar di Blitz, ini akan optimal.”, terangnya.

Itulah mengapa Ananda pada akhir tahun 2009 akan menoperasikan Blitz Megaplex di sebuah Mall besar di Surabaya. Sementara di Medan dn Makassar masih dalam tahap penjajakan. “Pasar bisokop itu masih luas.”, kata Ananda.

Ia menambahkan , Blitz memutar 150 – 200 film setahun. ‘Pasar film Hollywood di Blitz adalah 14-18 persen. Jumlah yang besar mengingat Blitz hanya punya empat lokasi dan harga tiketnya lebih mahal.’, terang Ananda.

Sumber: ditulis kembali dari harian Kompas, Edisi Minggu 26 oktober 2008

Selasa, 06 Juli 2010

Diperlukan Kesungguhan untuk Membangun Perfilman Indonesia



Oleh: H. Misbach Yusa Biran

(sumber : Sinematek Indonesia)
Catatan Redaksi: Terlepas dari adanya Pro-Kontra soal RUU Perfilman, H. Misbach Yusa Biran (seorang tokoh dan sesepuh perfilman Indinesia) mengajak kita bersama-sama untuk melihat hal yang paling mendasar untuk bagaimana upaya membangun perfilman Indonesia. Berikut adalah tulisannya.

Pertanyaan tentang bagaimana cara mengembangkan Perfilman Nasional sudah setengah abad lebih diulang-ulang. Ratusan pembahasan sudah dilakukan. Tahun 1969 Dewan Film Nasioal sudah menerbitkan Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional (P4-N). Saking banyaknya dibahas, hingga akhirnya jadi bingung sendiri.

Sekarang, tahun 2007, saya diminta untuk menulis tetang bagaimana membangun perfilman kita di masa depan. Saya seharusnya menolak permintaan ini. Masa` sudah tua begini, masih saja mau membahas sesuatu yang tidak akan digunakan.

Tapi saya berasumsi husnudzon (sangka baik), bahwa kali ini dunia film memang akan sungguh-sunguh mau mengusahakan pembangunan. Maka saya sedia saja menuliskan pendapat, mengenai hal-hal yang sebetulnya sudah basi.

Menurut saya, yang dewasa ini pokok harus dikembangkan untuk menunjang pembangunan perfilman kita adalah: (1) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia; (2) Mengembangkan teknologi pembuatan film; dan (3) Mempertinggi ke­mampuan pemasaran.

HUMAN INVESTMENT

Dalam industri apapun yang mengandalkan kepada penciptaan, maka otomatis industri tersebut sangat tergantung pada mutu sumber daya manusianya. Sejarah sudah berulang memperlihatkan, bahwa berapapun besarnya dana yang disumbangkan pemerintah, dan berapa besarnya pengurangan pajak, semua akan sia-sia saja membangun perfilman nasi­onal, kalau tidak ada tenaga kreatif yang bisa menghasilkan film baik.

Tahun 1980-an industri film kita bangkit dengan semarak. Film Indonesia ikut berkiprah di berbagai festival film internasional. Semua ini hasil dari pendidikan yang dihasilkan oleh Akademi Sinematografi/IKJ maupun kursus yang diselenggaraka oleh Yayasan Citra. Indus­tri film Australia mampu bangkit kembali dan menjadi semakin kuat sejak tahun 1970-an, adalah sejak pemerintah negeri itu mendirikan sekolah film serta mendukung berbagai kursus. Pembinaannya dilakukan oleh Australian Film Comission (AFC), semacam Dewa Film atau BP2N kita sekarang ini. Maka itu langkah yang sudah betul kita lakukan pada dua dasawarsa lalu itu, kini harus mendapatkan perhatian kembali dari Pemerintah/BP2N serta semua organisasi perfilman.

Fakultas Film dan TV (FFT/IKJ) harus dibantu oleh dunia film agar semakin berkembang. Sebab inilah satu-satunya sumber tenaga film yang akademik. Tidak usah harus sampai seperti Australian Film & Radio School (AFTRS) di Sydney. Yang prioritas bagi pengembagan FFTV/IKJ adalah meningkatkan kemampuannya memberikan kuliah praktikum, serta mengembangkan mutu para pengaarnya. Beri kesempatan mereka untuk belajar lagi, luaskan orientasi mereka mengenai berbagai sistim pendidikan di luar negeri. Supaya jangan berkutat mengulang cara yang itu ke itu juga. Para dosen di Malaysia, tiap tahun diberi dana untuk melakukan perjalanan meluaskan pengetahuan dan orientasi.

Dewasa ini, kursus film bukan lagi hanya diselenggarakan Yayasan Citra. Penyelenggara kursus mengenai pem­buatan film atau acting tersebar di berbagai tempat. Semua harus dibantu agar menjadi sumber pengadaan tena­ga manusia film yang bisa diandalkan. Yakni dengan cara agar kurikulumnya benar, cara penyajiannya bagus, dan tenaga pengajanya memang orang yang qualified.

TEKNOLOGI PERFILMAN

Teknologi film bisa menunjang kreativitas. Cerita semacam The Moby Dick, kisah tentang pertempuran pelaut dengan ikan paus putih raksasa di tengah samudra, tidak bisa kita filmkan di sini. Karena kita tidak memiliki teknologi Blue Screen dan laut buatan yang diperlukan.

Teknologi yang mahal tidak mau digarap oleh pengusaha di Indoneia. Karena ramainya produksi film di negeri kita tidak menjamin akan terus berlangsung. Bisa saja tiba-tiba anjlog seperti pada tahun 1990-an. Padahal usaha teknologi per­filman sangat besar, untuk pengembalian modalnya memerlukan waktu panjang. Dengan begitu tugas ini harus diambil oleh Pemerintah. Kalau tidak, maka pe­ngadaan teknologi modern tidak akan pernah kita miliki, sebagaimana terjadi sekarang.

Proyek teknologi film tersebut bisa diselenggarakan di kompleks bekas PFN. Sekitar 20 tahun lalu saya dimintai memberi pendapat oleh Departemen Keuangan mengenai maksud Pemerintah untuk melikuidasi PFN, yang saat itupun sudah tidak berfungsi, tapi terus menge-luarkan biaya. Saya bertahan agar kom­pleks PFN tetap menjadi milik dunia film. Alasan saya antara lain, bahwa kompleks itu bisa digunakan sebagai Pusat Tekno­logi Film Nasional. PFN tidak jadi diuangkan, tapi juga tetap saja jadi kompleks tidak berguna. Sekarang saatnya BP2N menguasahakan agar kompleks bekas PFN ini bisa bermanfaat bagi pembangu­nan perfilman nasional.

Di kompleks PFN ini ada ruang studio besar yang memenuhi syarat, ada show room, ada ruang bioskop, labora-torium cuci/cetak film seluloid, fasilitas pembuatan animasi, dan halaman dimana bisa dibangun blue screen dan semacam-nya. Laboratorium di kompleks PFN ini pernah disurvai oleh ahli dari Australia untuk bisa menghasilkan processing film yang baik. Lab ini bisa melaksanakan tugas processing yang tidak mampu dilakukan oleh laboratorium milik swasta.

PEMASARAN

Pada masa Dewan Film, didirikan PERFIN, perusahaan yang bertugas meng-koordinasikan peredaran film nasional, agar pemilik film punya posisi lebih kuat terhadap bioskop dan pembeli, serta agar tidak terjadi jegal menjegal antar sesama film nasional dalam peredarannya. Kinerja Perfini ini belum pernah dievaluasi secara terbuka. Tapi dewasa ini masih banyak produser dari masa itu yang masih bisa ditanya. Kita memerlukan satu koordinasi peredaran yang bisa memperkuat industri film kita.

Lahan peredaran film kita juga harus diperluas. Di Indoneia sekarang cuma tinggal berapalah jumlah bioskopnya. Maka tahun 1980-an pernah dibentuk POKJA PROSAR, yakni Kelompok Kerja yang bertugas merintis perluasan pasar keluar negeri. Usaha pelaksanaanya separuh hati. Padahal Pokja itu sudah mulai berhasil membuka peluang-peluang penjualan film kita pada pasar-pasar film, film market, yang khusus diselengarakan di suatu tempat atau dikaitkan dengan penyelenggaaan festival. Tapi POKJA ini bubar begitu saja. Ya, itulah, kurang serius!

Produser kita tidak mampu menyewa kios di film market. Produser Australia juga begitu. Karena umumnya juga usaha mereka masih berbentuk home industry. Maka AFC, dengan dana Pemerintah, menyewakan kios dimaksud di berbagai pasar film, yang boleh digunakan oleh produser Australia. Produser yang hanya punya satu filmpun bisa menjual filmnya di situ. Apa iya pemerintah kita tidak mampu berbuat halyang sama?

Apakah film kita bisa laku di pasar luar negeri? Kenapa tidak?! Dulupun, film-film action potong kepala dan semacamnya laku, tentu saja dibeli untuk peredaran di Afrika atau Ameika Latin. Yang penting sebagai suatu industri, produks bisa banyak terjual dulu.

Yang tidak mahal, tapi sangat mendesak kita lakukan adalah melakukan promosi yang efektif. News Letter yang bermutu bisa disebar lewat kedutaan, ke distributor berbagai negara, dan di kesempatan festival. Para distributor dan pasar film harus mendapat informasi dan promosi secara rutin.

Perlu pula difikirkan kembali dengan seksama dibukanya pusat pemasaran kita di Amsterdam. Kota itu kita jadikan semacam etalase bagi peminat di Eropa. Hal ini juga dulu pernah dibahas sampai matang. Karena negeri Belanda sendiri bisa menjadi pembeli penting film kita, karena di sana sangat banyak orang yang berasal dari Indonesia.

PENUTUP

Langkah-langkah yang saya usulkan terhadap tiga hal di atas, kembali saya tekankan, sama sekali bukan ide brilian dan penemuan baru. Semua sudah per­nah dibahas berkepanjangan, bahkan sudah ada yang mulai dilaksanakan. Tapi semua belalu tanpa perhatian dan usaha yang sungguh-sungguh. Bukan gagasannya yang salah. Maka itu saya pungut kembali beberapa yang pada tahap ini, tiga hal ini dululah yang menurut saya paling penting untuk ditangani. Agar ada focusing yang solid. Kemudian yang terpokok berikutnya adalah adanya kesungguhan untuk membangun perfilman kita. (*)

Minggu, 04 Juli 2010

KENAPA KFN


Kumpulnya kita-kita di Jakarta, dilandasi pemikiran yang sadar akan kecintaan yang sama pada budaya kreatif serta niat untuk turut ambil bagian dalam dinamika dunia perfileman di Indonesia. Kala kreatif ada maka KFN terjelma.

Berbekal pergumulan dan pengalaman kerja nyata, kita bersepakat untuk menyatukan energi yang kita miliki untuk segera diolah menjadi wujud sebuah sistem yang memiliki daya manfaat bagi kewujudan triliunan pelangi inspirasi kreatif yang tersebar di nusantaraya.

Maka kita dirikan Pusat KFN di Jakarta, entitas energi kesepakatan utuh yang bersumber dari kepaduan tujuan, berbekal pengalaman yang dihargai sebagai ungkapan kebersyukuran atas kehidupan, cahaya niat di hati sanubari dan cinta kasih kita-kita sebagai Manusantara pada negeri tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika KFN Jakarta – Pusat; sebagai entitas energi, maka jati diri KFN yang tumbuh di seluruh persada Nusantaraya adalah hamparan indah taman harapan pelangi nan kaya raya berbagai inspirasi kreatif dari segenap Manusantara.

Al-Khazini (1221), dalam “ Book of Balance of Wisdom ” menyatakan bahwa potensial energi gravitasi suatu benda bervariasi tergantung pada jarak dari pusat Bumi.

Membaca ungkapan di atas, rasanya tidak berlebihan jika KFN Jakarta sebagai pusat KFN, mengambilnya sebagai refrensi untuk meletakan landasan moral semangat kerjanya.

Keberadaan fisik KFN-KFN yang tersebar di seluruh nusantaraya meski jauh jaraknya dengan KFN Jakarta, tidak serta merta makin melemah energinya, justru sebaliknya; semakin jauh dari Jakarta energi yang dimiliki akan semakin dahsyat berlipat ganda.

Ada sebuah fakta, bisa dikatakan juga hukum yang disebut “ Kekelan Energi ”, kata Richard Feynman (1988), suatu undang-undang yang menyatakan bahwa ada jumlah tertentu, yang kita sebut energi, yang tidak berubah dalam bermacam-macam perubahan yang dialami oleh alam.

Kekekalan energi dari sesuatu yang tidak berubah dari bermacam perubahan.
Manakala Energi bekerja demi Inspirasi, maka k e b u d a y a a n akan tumbuh kuat, karena di dalamnya terdapat wujud yang mengarah jelas menuju suatu harmoni konsistensi dalam inkonsistensi yang kokoh, benar, baik dan indah. (*)