TENTANG KAMI

Foto saya
MENUMBUHKAN JEJARING ANTAR KOMUNITAS FILM DI SELURUH NUSANTARA DALAM MENAMPILKAN GAMBAR HIDUP NUSANTARA

Rabu, 14 Juli 2010

Bioskop Masih Menjanjikan


“Bohong kalau dunia bisnis bioskop telah mati”, hal itu yang ditegaskan oleh Sutiono (61), seorang pemilik sejumlah bioskop di Jawa Timur.

Menurut pengusaha yang mengaku pernah menguasai 70 persen pasar bioskop di Jatim tsb, potensi bisnis bioskop masih sangat besar.

“Perhitungan saya, di Jakarta saja uang yang beredar di bisnis bioskop bisa mencapai Rp 50 miliar – Rp 100 Miliar per bulan. Di satu bisokop yang ramai, seperti di Plaza Senayan, saya menduga omzetnya bisa mencapai Rp 5 Miliar – Rp 7.5 Miliar per bulan”, ujar Setiono.

Dengan pola bagi hasil penjualan tiket sebesar 40 persen untuk pemilik film, 50 persen untuk pengusaha bioskop, dan 10 persen untuk pajak. Menurut Setiono, setiap pengusaha bioskop masih mendapatkan untung besar. “Biaya operasional, seperti bayar gaji pegawai dan listrik cukup diambil dari hasil penjualan popcorn dan minuman”, ujarnya.

Setiono mengakui, bisnis bioskop memang sempat terguncang dan anjlok gara-gara masuknya teknologi hiburan baru, seperti VCD dan DVD, dan maraknya TV swasta. Namun, semua itu tidak membuat masyarakat meninggalkan bioskop sama sekali. “Lihat saja film-film seperti Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi, orang masih rela antre untuk nonton bioskop”, tandas Setiono.

Dengan alsan ini, meski kerajaan bioskopnya sempat hancur di masa lalu, Setiono tetap mempertahanakan satu bioskopnya di Kota Malang dn bahkan membangun beberapa gedung baru di Lumajang, Jember dan Pasuruan. “Yang di Malang dan Pasuruan saya bekerja sama dengan pihak 21 sehingga masih bis memutar film-film baru. Sementara di Lumajang dan Jember seratus persen milik saya. Ya jadinya cuma bisa nunggu film yang sudah berumur 4-5 bulan”, ujarnya.

Ia menambahkan, jika ditunjang regulasi pemerintah dan sistem distribusi film yang lebih adil dan terbuka, bisnis bioskop akan berjaya kembali seperti era 1970-1980-an. “Saya tidak rela menutup bioskop – bisokop saya karena saya tahu persis di bisnis ini duitnya masih ada. Kecuali kalau penonton film sudah benar-benar habis”, kata Setiono.

Bagi Pesiden Direktur Blitz Megaplex Ananda Siregar, membangun bisokop dengan nilai investasi 3 juta – 4 Juta dolar AS per lokasi sebenarnya menguntungkan. Saat ini pun, meski hanya bisa memutar 14 judul film Indonesia (sampai Oktober) dan delapan judul pada tahun 2007, perolehan tiket di empat lokasi Blitz Megaplex di Bandung dan Jakarta melebihi biaya operasional alias untung. “Apalagi jika semua film Indonesia diputar di Blitz, ini akan optimal.”, terangnya.

Itulah mengapa Ananda pada akhir tahun 2009 akan menoperasikan Blitz Megaplex di sebuah Mall besar di Surabaya. Sementara di Medan dn Makassar masih dalam tahap penjajakan. “Pasar bisokop itu masih luas.”, kata Ananda.

Ia menambahkan , Blitz memutar 150 – 200 film setahun. ‘Pasar film Hollywood di Blitz adalah 14-18 persen. Jumlah yang besar mengingat Blitz hanya punya empat lokasi dan harga tiketnya lebih mahal.’, terang Ananda.

Sumber: ditulis kembali dari harian Kompas, Edisi Minggu 26 oktober 2008

Selasa, 06 Juli 2010

Diperlukan Kesungguhan untuk Membangun Perfilman Indonesia



Oleh: H. Misbach Yusa Biran

(sumber : Sinematek Indonesia)
Catatan Redaksi: Terlepas dari adanya Pro-Kontra soal RUU Perfilman, H. Misbach Yusa Biran (seorang tokoh dan sesepuh perfilman Indinesia) mengajak kita bersama-sama untuk melihat hal yang paling mendasar untuk bagaimana upaya membangun perfilman Indonesia. Berikut adalah tulisannya.

Pertanyaan tentang bagaimana cara mengembangkan Perfilman Nasional sudah setengah abad lebih diulang-ulang. Ratusan pembahasan sudah dilakukan. Tahun 1969 Dewan Film Nasioal sudah menerbitkan Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional (P4-N). Saking banyaknya dibahas, hingga akhirnya jadi bingung sendiri.

Sekarang, tahun 2007, saya diminta untuk menulis tetang bagaimana membangun perfilman kita di masa depan. Saya seharusnya menolak permintaan ini. Masa` sudah tua begini, masih saja mau membahas sesuatu yang tidak akan digunakan.

Tapi saya berasumsi husnudzon (sangka baik), bahwa kali ini dunia film memang akan sungguh-sunguh mau mengusahakan pembangunan. Maka saya sedia saja menuliskan pendapat, mengenai hal-hal yang sebetulnya sudah basi.

Menurut saya, yang dewasa ini pokok harus dikembangkan untuk menunjang pembangunan perfilman kita adalah: (1) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia; (2) Mengembangkan teknologi pembuatan film; dan (3) Mempertinggi ke­mampuan pemasaran.

HUMAN INVESTMENT

Dalam industri apapun yang mengandalkan kepada penciptaan, maka otomatis industri tersebut sangat tergantung pada mutu sumber daya manusianya. Sejarah sudah berulang memperlihatkan, bahwa berapapun besarnya dana yang disumbangkan pemerintah, dan berapa besarnya pengurangan pajak, semua akan sia-sia saja membangun perfilman nasi­onal, kalau tidak ada tenaga kreatif yang bisa menghasilkan film baik.

Tahun 1980-an industri film kita bangkit dengan semarak. Film Indonesia ikut berkiprah di berbagai festival film internasional. Semua ini hasil dari pendidikan yang dihasilkan oleh Akademi Sinematografi/IKJ maupun kursus yang diselenggaraka oleh Yayasan Citra. Indus­tri film Australia mampu bangkit kembali dan menjadi semakin kuat sejak tahun 1970-an, adalah sejak pemerintah negeri itu mendirikan sekolah film serta mendukung berbagai kursus. Pembinaannya dilakukan oleh Australian Film Comission (AFC), semacam Dewa Film atau BP2N kita sekarang ini. Maka itu langkah yang sudah betul kita lakukan pada dua dasawarsa lalu itu, kini harus mendapatkan perhatian kembali dari Pemerintah/BP2N serta semua organisasi perfilman.

Fakultas Film dan TV (FFT/IKJ) harus dibantu oleh dunia film agar semakin berkembang. Sebab inilah satu-satunya sumber tenaga film yang akademik. Tidak usah harus sampai seperti Australian Film & Radio School (AFTRS) di Sydney. Yang prioritas bagi pengembagan FFTV/IKJ adalah meningkatkan kemampuannya memberikan kuliah praktikum, serta mengembangkan mutu para pengaarnya. Beri kesempatan mereka untuk belajar lagi, luaskan orientasi mereka mengenai berbagai sistim pendidikan di luar negeri. Supaya jangan berkutat mengulang cara yang itu ke itu juga. Para dosen di Malaysia, tiap tahun diberi dana untuk melakukan perjalanan meluaskan pengetahuan dan orientasi.

Dewasa ini, kursus film bukan lagi hanya diselenggarakan Yayasan Citra. Penyelenggara kursus mengenai pem­buatan film atau acting tersebar di berbagai tempat. Semua harus dibantu agar menjadi sumber pengadaan tena­ga manusia film yang bisa diandalkan. Yakni dengan cara agar kurikulumnya benar, cara penyajiannya bagus, dan tenaga pengajanya memang orang yang qualified.

TEKNOLOGI PERFILMAN

Teknologi film bisa menunjang kreativitas. Cerita semacam The Moby Dick, kisah tentang pertempuran pelaut dengan ikan paus putih raksasa di tengah samudra, tidak bisa kita filmkan di sini. Karena kita tidak memiliki teknologi Blue Screen dan laut buatan yang diperlukan.

Teknologi yang mahal tidak mau digarap oleh pengusaha di Indoneia. Karena ramainya produksi film di negeri kita tidak menjamin akan terus berlangsung. Bisa saja tiba-tiba anjlog seperti pada tahun 1990-an. Padahal usaha teknologi per­filman sangat besar, untuk pengembalian modalnya memerlukan waktu panjang. Dengan begitu tugas ini harus diambil oleh Pemerintah. Kalau tidak, maka pe­ngadaan teknologi modern tidak akan pernah kita miliki, sebagaimana terjadi sekarang.

Proyek teknologi film tersebut bisa diselenggarakan di kompleks bekas PFN. Sekitar 20 tahun lalu saya dimintai memberi pendapat oleh Departemen Keuangan mengenai maksud Pemerintah untuk melikuidasi PFN, yang saat itupun sudah tidak berfungsi, tapi terus menge-luarkan biaya. Saya bertahan agar kom­pleks PFN tetap menjadi milik dunia film. Alasan saya antara lain, bahwa kompleks itu bisa digunakan sebagai Pusat Tekno­logi Film Nasional. PFN tidak jadi diuangkan, tapi juga tetap saja jadi kompleks tidak berguna. Sekarang saatnya BP2N menguasahakan agar kompleks bekas PFN ini bisa bermanfaat bagi pembangu­nan perfilman nasional.

Di kompleks PFN ini ada ruang studio besar yang memenuhi syarat, ada show room, ada ruang bioskop, labora-torium cuci/cetak film seluloid, fasilitas pembuatan animasi, dan halaman dimana bisa dibangun blue screen dan semacam-nya. Laboratorium di kompleks PFN ini pernah disurvai oleh ahli dari Australia untuk bisa menghasilkan processing film yang baik. Lab ini bisa melaksanakan tugas processing yang tidak mampu dilakukan oleh laboratorium milik swasta.

PEMASARAN

Pada masa Dewan Film, didirikan PERFIN, perusahaan yang bertugas meng-koordinasikan peredaran film nasional, agar pemilik film punya posisi lebih kuat terhadap bioskop dan pembeli, serta agar tidak terjadi jegal menjegal antar sesama film nasional dalam peredarannya. Kinerja Perfini ini belum pernah dievaluasi secara terbuka. Tapi dewasa ini masih banyak produser dari masa itu yang masih bisa ditanya. Kita memerlukan satu koordinasi peredaran yang bisa memperkuat industri film kita.

Lahan peredaran film kita juga harus diperluas. Di Indoneia sekarang cuma tinggal berapalah jumlah bioskopnya. Maka tahun 1980-an pernah dibentuk POKJA PROSAR, yakni Kelompok Kerja yang bertugas merintis perluasan pasar keluar negeri. Usaha pelaksanaanya separuh hati. Padahal Pokja itu sudah mulai berhasil membuka peluang-peluang penjualan film kita pada pasar-pasar film, film market, yang khusus diselengarakan di suatu tempat atau dikaitkan dengan penyelenggaaan festival. Tapi POKJA ini bubar begitu saja. Ya, itulah, kurang serius!

Produser kita tidak mampu menyewa kios di film market. Produser Australia juga begitu. Karena umumnya juga usaha mereka masih berbentuk home industry. Maka AFC, dengan dana Pemerintah, menyewakan kios dimaksud di berbagai pasar film, yang boleh digunakan oleh produser Australia. Produser yang hanya punya satu filmpun bisa menjual filmnya di situ. Apa iya pemerintah kita tidak mampu berbuat halyang sama?

Apakah film kita bisa laku di pasar luar negeri? Kenapa tidak?! Dulupun, film-film action potong kepala dan semacamnya laku, tentu saja dibeli untuk peredaran di Afrika atau Ameika Latin. Yang penting sebagai suatu industri, produks bisa banyak terjual dulu.

Yang tidak mahal, tapi sangat mendesak kita lakukan adalah melakukan promosi yang efektif. News Letter yang bermutu bisa disebar lewat kedutaan, ke distributor berbagai negara, dan di kesempatan festival. Para distributor dan pasar film harus mendapat informasi dan promosi secara rutin.

Perlu pula difikirkan kembali dengan seksama dibukanya pusat pemasaran kita di Amsterdam. Kota itu kita jadikan semacam etalase bagi peminat di Eropa. Hal ini juga dulu pernah dibahas sampai matang. Karena negeri Belanda sendiri bisa menjadi pembeli penting film kita, karena di sana sangat banyak orang yang berasal dari Indonesia.

PENUTUP

Langkah-langkah yang saya usulkan terhadap tiga hal di atas, kembali saya tekankan, sama sekali bukan ide brilian dan penemuan baru. Semua sudah per­nah dibahas berkepanjangan, bahkan sudah ada yang mulai dilaksanakan. Tapi semua belalu tanpa perhatian dan usaha yang sungguh-sungguh. Bukan gagasannya yang salah. Maka itu saya pungut kembali beberapa yang pada tahap ini, tiga hal ini dululah yang menurut saya paling penting untuk ditangani. Agar ada focusing yang solid. Kemudian yang terpokok berikutnya adalah adanya kesungguhan untuk membangun perfilman kita. (*)

Minggu, 04 Juli 2010

KENAPA KFN


Kumpulnya kita-kita di Jakarta, dilandasi pemikiran yang sadar akan kecintaan yang sama pada budaya kreatif serta niat untuk turut ambil bagian dalam dinamika dunia perfileman di Indonesia. Kala kreatif ada maka KFN terjelma.

Berbekal pergumulan dan pengalaman kerja nyata, kita bersepakat untuk menyatukan energi yang kita miliki untuk segera diolah menjadi wujud sebuah sistem yang memiliki daya manfaat bagi kewujudan triliunan pelangi inspirasi kreatif yang tersebar di nusantaraya.

Maka kita dirikan Pusat KFN di Jakarta, entitas energi kesepakatan utuh yang bersumber dari kepaduan tujuan, berbekal pengalaman yang dihargai sebagai ungkapan kebersyukuran atas kehidupan, cahaya niat di hati sanubari dan cinta kasih kita-kita sebagai Manusantara pada negeri tercinta, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika KFN Jakarta – Pusat; sebagai entitas energi, maka jati diri KFN yang tumbuh di seluruh persada Nusantaraya adalah hamparan indah taman harapan pelangi nan kaya raya berbagai inspirasi kreatif dari segenap Manusantara.

Al-Khazini (1221), dalam “ Book of Balance of Wisdom ” menyatakan bahwa potensial energi gravitasi suatu benda bervariasi tergantung pada jarak dari pusat Bumi.

Membaca ungkapan di atas, rasanya tidak berlebihan jika KFN Jakarta sebagai pusat KFN, mengambilnya sebagai refrensi untuk meletakan landasan moral semangat kerjanya.

Keberadaan fisik KFN-KFN yang tersebar di seluruh nusantaraya meski jauh jaraknya dengan KFN Jakarta, tidak serta merta makin melemah energinya, justru sebaliknya; semakin jauh dari Jakarta energi yang dimiliki akan semakin dahsyat berlipat ganda.

Ada sebuah fakta, bisa dikatakan juga hukum yang disebut “ Kekelan Energi ”, kata Richard Feynman (1988), suatu undang-undang yang menyatakan bahwa ada jumlah tertentu, yang kita sebut energi, yang tidak berubah dalam bermacam-macam perubahan yang dialami oleh alam.

Kekekalan energi dari sesuatu yang tidak berubah dari bermacam perubahan.
Manakala Energi bekerja demi Inspirasi, maka k e b u d a y a a n akan tumbuh kuat, karena di dalamnya terdapat wujud yang mengarah jelas menuju suatu harmoni konsistensi dalam inkonsistensi yang kokoh, benar, baik dan indah. (*)

Selasa, 29 Juni 2010

BIOSKOP


Ujung Tombak Industri Perfilman Indonesia

KEBERADAAN bioskop di Indo­nesia sudah berlangsung selama hampir 107 tahun, ter-hitung sejak adanya bioskop yang memutar film pertama kali yang dikenal sebagai "gambar idoep" di Batavia tanggal 5 Desember 1900. Bioskop mempunyai peranan yang strategis dan merupakan ujung tombak industri perfilman Indonesia, sekaligus menjadi tolok ukur keberhasilan produksi film Indone­sia bagi masyarakat.
Sebagai mata rantai terakhir dalam tata niaga film, usaha perbioskopan tentu saja tidak bisa dilepaskan dari salah satu fungsi bioskop yaitu seb­agai "etalasefilm".

Pengusaha bioskop telah bergabung dalam organisasi sejak 10 April 1955, melalui Kongres I yang diikuti oleh 51 pemilik bioskop. Tanggal tersebut akhirnya diakui sebagai kelahiran organisasi bioskop di Indonesia, walau kemudian berganti nama berkali-kali. Ketika itu bernama Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI), yang akhirnya saat ini menjadi Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Pengusaha bioskop mempunyai komitmen terhadap kemajuan dan pengembangan industri perfilman Indonesia. GPBSI juga menjalin kerjasama dengan organisasi-organisasi perfilman lainnya.

Kiprah GPBSI dalam industri perfilman Indonesia terjadi pasang surut/fluktuasi sebagaimana terjadi pada industri per­filman di Indonesia. Pada era 1900-1942 disebut dengan tahap "layar membentang". Gambar yang disajikan ketika itu belum sempurna karena minimnya peralatan teknologi yang digunakan dalam bioskop tahap

awal tersebut.

Kemudian periode 1942-1949 disebut dengan tahap berjuang di garis belakang. Tahap ini dimulai ketika Jepang sudah mulai masuk ke Indonesia. Pada tahap tersebut, bioskop lebih digunakan sebagai alat propaganda Jepang.

Tahun 1952 hingga 1960 merupakan tahun keemasan bioskop di Indonesia. Jumlah bioskop ketika itu mencapai 890 buah, yang tidak terlepas dari ketersediaan beragam film untuk memuaskan berbagai macam penonton dari berbagai lapisan sosial. Jumlah penonton ketika itu mencapai 450 juta orang.

Tahun 1961 Jumlah bioskop kembali menurun menjadi 800 buah. Hal ini dikarenakan sektor perbioskopan menghadapi kendala dalam permasala-han mahalnya ongkos distribusi film.

Bioskop kembali mengalami puncak masa jayanya pada tahun 1990, di mana pada tahun tersebut Jumlah bioskop di Indonesia mencapai titik tertinggi yaitu 2.600 buah dengan 2.853 layar, dan Jumlah penonton mencapai 312 juta orang.

Era 1991-2002 terjadi keterpurukan bagi usaha perbioskopan di Indonesia secara drastis. Dari Jumlah 2.600 pada tahun 1990, tinggal 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002. Kendala yang dihadapi adalah maraknya televisi swasta, tv kabel dan pembajakan terhadap film lewat VCD dan DVD. Hiburan alternatif melalui media televisi yang mampu menerobos memasuki setiap rumah dan bisa dinikmati secara gratis.

Kemudian antara tahun 2003 hingga 2007 kembali terjadi peningkatan Jumlah bioskop di Indonesia. Dari 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002 men­jadi 483 bioskop dengan 959 layar pada pertengahan tahun 2007. Namun itupun hanya berkembang di kota-kota besar saja khusunya di mal-mal dan pusat perbelanjaan. Artinya, bioskop yang ada baru hanya sekedar memenuhi kebutuhan pasar film Indonesia di lapisan menengah ke atas, yang diperkirakan hanya sekitar 25% dari Jumlah penonton di Indonesia.

Jumlah bioskop yang tersebar di wilayah Jadebotabek mencapai hampir 60%, sedangkan di daerah provinsi dan kabupaten lain mendapat imbas dengan ditutupnya seluruh bioskop menengah ke bawah.

Dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, dan pelayanan untuk masyarakat penonton yang memadai, adalah suatu tantangan bagi dunia per­bioskopan khususnya, untuk bersama-sama membuka pasar film yang lebih luas lagi di Indonesia. Minimal untuk tahap pertama, perlu adanya "regulasi" dan "political will" dari pemerintah untuk berkembanganya pasar film Indonesia di seluruh provinsi dan selanjutnya di setiap kabupaten.

Untuk memenuhi kebutuhan ma­syarakat penonton, idealnya untuk lima tahun ke depan diperlukan 3.000 gedung bioskop dengan 15.000 layar. Upaya untuk mencapai hal tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

Pertama, perlu adanya penelitian dan pengkajian terhadap jumlah penonton film Indonesia dan pendapatan dari hasil pertunjukan di bioskop.

Kedua, perlu adanya tatanan yang jelas dari paska produksi, distribusi dan eksibisi antara GPBSI, PPFI dan Pemerin­tah. Untuk itulah keberadaan bioskop saat ini harus dikembangkan khususnya ge­dung bioskop kelas menengah kebawah di seluruh Indonesia yang pada akhirnya akan membantu para produser/pemilik film dalam mendistribusikan filmnya ke bioskop-bioskop.

Ketiga, perlu diciptakan pendistribusian yang sehat, adil dan transparan antara pemilik bioskopdan pemilikfilm.

Keempat, pemerintah perlu memberikan keringanan tarif listrik (PLN), karena beban terberat bagi operasional bioskop adalah pada pembayaran listrik, serta menurunkan pajak tontonan di seluruh Indonesia maksimal atau paling tinggi 10%.

Kelima, perlu adanya satu sistem dalam perfilman Indonesia yang yang diatur dengan Undang-Undang Perfilman. Karena Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman sudah tidak relevan lagi untuk dilaksanakan. Untuk itu Undang-Undang tersebut perlu segera direvisi sehingga bisa menjadi acuan bagi insan perfilman dan pemerintah di kemudian hari. Hakikatnya, Undang-Undang terse­but memiliki nilai-nilai pemberdayaan, pengembangan dan kemandirian/independen.

Dengan adanya Festival Film Indo­nesia (FFI) yang kembali diselenggarakan sejak 2004, para pengusaha bioskop yang tergabung dalam GPBSI mendukung sepenuhnya, karena FFI merupakan ajang prestasi, apresiasi, kompetisi dan sekaligus menjadi motivasi bagi insan perfilman Indonesia. GPBSI menyarankan hendaknya FFI dapat di selenggarakan terus setiap tahun. (***)

(sumber: Artikel DOKUMENTASI PERFILMAN INDONESIA)

Senin, 28 Juni 2010

Gambar Hidup Nusantara

Film pada prinsipnya adalah media citra bergerak ( motion picture ). Sebagai GAMBAR HIDUP ( motion picture) dia harus hidup. Indonesia adalah eksistensi yang terbentang luas dari Sabang sampai Marauke. GAMBAR HIDUP INDONESIA adalah kehidupan yang bersuara sekaya bahasa tuturnya, bahasa geraknya, keindahan tanah dan airnya, yang terpenting harus menjadi GAMBAR HIDUP NUSANTARA.

Dahulu bicara film adalah bicara soal Jakarta sehingga lalu muncul 'kemiskinan-film' dalam fikiran bahwa Film Jakarta adalah pemilik tunggal Film Indonesia. Kemajuan teknologi membongkar semuanya termasuk monopoli ilmu dan ketrampilan budaya film. GAMBAR HIDUP kini tidak lagi hanya bersarang dijasad film ( celluloid - fisik ), tapi Gambar Hidup kini melesat ke berbagai jasad baru yang sangat progresive dan handytool; video ( elektronik - analog/digital ). Perkembangan ini, secara tegap dan pasti menumbuhsuburkan GAMBAR HIDUP INDONESIA, siapa pun di mana pun bisa kita saksikan, bahwa ada gerakan budaya GAMBAR HIDUP NUSANTARA yang hidup berkembang penuh keyakinan dan percaya diri di hampir seluruh daerah di Indonesia,

>>> babibutafilm@gmail.com, sinema_adikara@yahoo.com, ffm_yogya@yahoo.co.id, fourcolours2001@yahoo.com, galerivideo@yahoo.com, Lunch_management@yahoo.co.id, fourth_matekstosi@yahoo.co.id, milikitavideolearning@yahoo.com,supir_rei@yahoo.com, gambargerakstudio@yahoo.co.id, redaksi@filmalternatif.org, filmmakerpelajar@yahoo.com, corporate_art_whore@yahoo.com, psychocinemafestival3@live.com ,redaksi@ruangfilm.com, putra@thekebayoranconsulting.com, info@themarshall.org, kotaksurat@konfiden.or.id, dsccfikomunpad@gmail.com, f2pb_salmanfilm@yahoo.com, kineruku@yahoo.com, moviegladpictures@yahoo.com, info@the-restart.com, importalmail@yahoo.com, kepadajkfb@gmail.com, kronikfilmedia@yahoo.com, matakaca06@yahoo.co.id, kaligawe14@yahoo.com, sangkanparan2002@yahoo.com, bessy4beatgeneration@yahoo.com, danar_tri@yahoo.co.id, lensamatamu@yahoo.com, makdesu@gmail.com, arief_yani2000@yahoo.com, dejavucommunity@yahoo.com, makassarapasaja@yahoo.com, freemoviemakassar@yahoo.co.id, mmc_kendari01@yahoo.co.id, onnykres@yahoo.com, <<<

Ini adalah sebagian kecil dari Gerakan Baru GAMBAR HIDUP INDONESIA, yang saya yakin dalam tempo sesingkat-singkatnya akan segera menggelorakan seluruh sendi budaya lewat bingkai-bingkainya dalam bentuk dan isi tanpa batas dan tak ada satu pun dan siapa pun yang dapat membatasinya selain kesadaran budayanya sebagai Bangsa Terhormat, Berdaulat, Sebagai Bangsa Indonesia yang pantang menjerumuskan diri menjadi Budak Dunia dalam semua stratanya

MAJU TERUS GAMBAR HIDUP NUSANTARA!

Embi C Noer

Kedai Itu

KEDAI FILM NUSANTARA NAMANYA

Kisah ini, bukan sekedar kisah biasa akan tetapi sebuah kisah nyata tentang harga diri dan kokohnya cinta. Ini adalah kisah tentang sebuah kedai. Bukan sembarang kedai dan bukan kisah tentang sebuah kedai, ini adalah kisah berpuluh-puluh bahkan bisa jadi sampai ratusan kedai jumlahnya.

Apakah jumlah itu penting?

Ya, karena jika sang jumlah ditaburi cinta, maka triliunan keberkahan akan tumbuh subur di sana.

Apakah kedai itu serupa kedai kopi milik kita yang tersebar di hampir seluruh pelosok negeri?

Ya, ini kisah indah tentang deretan kedai-kedai cahaya milik kita...

Kedai cahaya?

Ya, kedai cahaya yang akan menerangi sehingga kita mampu melihat dengan hati dan merasakan dengan mata untuk berkata dengan dua tangan terbuka dalam irama lagu kerja, kerja, berdoa dan terus bekerja..

Lalu, apa itu Kedai Film Nusantara? Apa ada film di sebuah kedai? Bukankah yang ada di kedai adalah cuma kita-kita saja? Kedai tempat kita minum kopi sambil duduk berbincang-bincang memperbincangkan apa saja yang kita suka diselingin makan kudapan lezat dari kacang sampai ketan dari keripik sampai berbagai jenis gorengan? Film apakah itu yang ada di kedai?

Yang ada di kedai kita adalah Film Nusantara.

Film Nusantara?

Ya, Film Nusantara.

Apa itu?

Film Nusantara adalah film yang kita miliki sepenuh-penuhnya, mutlak. Film Nusantara adalah film yang kita buat karena kita memang ingin membuatnya, dan hal itu bukan semata-mata karena kita bisa membuat film, film nusantara kita buat karena Film Nusantara adalah film-film yang memang kita harus membuatnya.

Harus?

Ya, harus.

Kenapa harus?

Karena kita tidak boleh hanya diam membatu sementara seluruh jati diri kita dijadikan barang mati dalam jutaan frame yang ada di dunia. Sekarang saatnya kita juga harus membuat frame-frame itu, frame-frame kita.
Untuk apa?

Untuk menunjukan kalau kita bukan sebuah orang akan tetapi suatu jiwa, kita adalah kebudayaan. Kita ada dan bahagia.

Jutaan kita adalah bersudara di dalam kehidupan jiwa raga dan satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Ini kenyataan yang mendesak kita agar seluruh jati diri kita harus segera kita sorotkan ke layar dunia, agar dunia tahu bahwa kita semua disini tidak tertidur lelap apalagi sekedar hidup bergaya kalap. Kita juga telah lama sedang bekerja untuk sesuatu yang kita cintai. Di sini. Sekarang. Dan, selama-lamanya.

Embi C Noer

ESTETIKA KEDAI FILM NUSANTARA

CITA-CITA KEINDAHAN ETIKA BANGSA

Berfikir menukik ke substansi eksistensial untuk menemukan esensi adalah petualangan sia-sia jika dunia sebagai realitas dan entitasnya hanya dimaknai sebagai hiburan gratis di ruang hampa. Berfikir lalu hanya sebagai aktifitas sampingan di daerah stateless untuk mengumbar gejolak histeria dari keliaran nalar di kesesatan ranah kebebasan yang nonsense itu. Nonsens bagi KFN adalah kebinatangan. Kedai Film Nusantara (KFN) adalah commonsense.

KFN bukan sumur tanpa dasar. KFN adalah sumur wildcat dimana hubungan antara gagasan dan energi bernilai luhur sebagai gerak kesungguhan perjuangan untuk tetap sadar; hidup meski bebas sangatlah terbatas. Keterbatasan sebagai wujud keindahan; karena keterbatasanlah sesuatu mencapai keindahannya. Keindahan karena keterbatasan; sesuatu menjadi indah tatkala menemukan misteri (esensi) batas-batas keterbatasannya yang terus berkembang.

Manusia tanpa Tuhan hilang keindahannya yang paling tinggi dikarenakan dirinya kehilangan penghargaan dan nikmatnya memikul kesalahannya hidup mewah di alam istana atau memikul dosa akibat memakan buah larangan di taman sorga. Sorga melahirkan Naraka, adalah awal alam. Tuhan menciptakan lewat peristiwa rohaniah penting yang menjadi orbit atom-atom semesta yang kebersyukurannya ada dalam tunggal cita-cita. Apakah itu, darimanakah dan mau kemanakah tunggal cita-cita; tak mungkin sel-sel otak, segumpal hati atau harmonisasi cairan hormonal pada kelenjar-kelenjar memahaminya secara utuh, karena pemahaman semua itu haruslah berupa pemahaman atom-atom pada jaringan seluruh tubuh yang menjadi kesadaran kesementaraan, anugerah dan keabadian, yang rumit tak terjangkau. Menjadikan nonsens sebagai commonsense, manusia akan beku di batas alam tubuh a historys; peradaban tanpa kelamin. Manusia tanpa kemaluan akan melayang-layang menanggung derita siksa tipuan bayangan hidup di sepanjang kekosongannya.

KFN sebagai laboratorium nusantara, akan bekerja dengan menguntaikan dengan tekun dan kokoh sebagai jejaring kebersamaan guna memelihara dan mengolah seluruh potensi keindahan atau keterbatasan yang dimiliki. KFN harus segera bekerja dan menemukan Formula Indonesia Baru, yang substansi keindahannya adalah tunggal cita-cita yaitu Indahnya Etika.

Indahnya Etika adalah keindahan yang menempatkan karya sebagai bagian tak terpisahkan dari pembuat dan penikmat di mana impact hubungan seimbang dan dinamis ketiganya nilainya lebih penting dari argument keindahan intelektualnya.

Indahnya Etika sebagai suatu kesepakatan kebudayaan antara fihak produsen dan konsumen budaya seni baru untuk tidak melakukan eksplorasi manipulatif dengan mempolitisir entitas sebagai benda mati tanpa harga diri.

Indahnya Etika secara tajam menghormati keterbukaan dengan tidak menelanjanginya akan tetapi justru memberinya gaun yang bernilai sebagai cara menghargai tubuh dengan seluruh bahasa kebudayaan.

Indahnya Etika bagi KFN sebagai sumber cahaya yang harus terus-menerus diganggu agar waktu tidak gagu, dilindungi agar terpojok kemudian memupuk diri untuk semakin kuat menghadapi berbagai siasat keindahan palsu, dibongkar agar waktu terbakar dan lahir perstiwa yang menyadarkan hidup dari ketidakindahan.

Rumli Chairil Noer