
Oleh: H. Misbach Yusa Biran
(sumber : Sinematek Indonesia)
Catatan Redaksi: Terlepas dari adanya Pro-Kontra soal RUU Perfilman, H. Misbach Yusa Biran (seorang tokoh dan sesepuh perfilman Indinesia) mengajak kita bersama-sama untuk melihat hal yang paling mendasar untuk bagaimana upaya membangun perfilman Indonesia. Berikut adalah tulisannya.
Pertanyaan tentang bagaimana cara mengembangkan Perfilman Nasional sudah setengah abad lebih diulang-ulang. Ratusan pembahasan sudah dilakukan. Tahun 1969 Dewan Film Nasioal sudah menerbitkan Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional (P4-N). Saking banyaknya dibahas, hingga akhirnya jadi bingung sendiri.
Sekarang, tahun 2007, saya diminta untuk menulis tetang bagaimana membangun perfilman kita di masa depan. Saya seharusnya menolak permintaan ini. Masa` sudah tua begini, masih saja mau membahas sesuatu yang tidak akan digunakan.
Tapi saya berasumsi husnudzon (sangka baik), bahwa kali ini dunia film memang akan sungguh-sunguh mau mengusahakan pembangunan. Maka saya sedia saja menuliskan pendapat, mengenai hal-hal yang sebetulnya sudah basi.
Menurut saya, yang dewasa ini pokok harus dikembangkan untuk menunjang pembangunan perfilman kita adalah: (1) Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia; (2) Mengembangkan teknologi pembuatan film; dan (3) Mempertinggi kemampuan pemasaran.
HUMAN INVESTMENT
Dalam industri apapun yang mengandalkan kepada penciptaan, maka otomatis industri tersebut sangat tergantung pada mutu sumber daya manusianya. Sejarah sudah berulang memperlihatkan, bahwa berapapun besarnya dana yang disumbangkan pemerintah, dan berapa besarnya pengurangan pajak, semua akan sia-sia saja membangun perfilman nasional, kalau tidak ada tenaga kreatif yang bisa menghasilkan film baik.
Tahun 1980-an industri film kita bangkit dengan semarak. Film Indonesia ikut berkiprah di berbagai festival film internasional. Semua ini hasil dari pendidikan yang dihasilkan oleh Akademi Sinematografi/IKJ maupun kursus yang diselenggaraka oleh Yayasan Citra. Industri film Australia mampu bangkit kembali dan menjadi semakin kuat sejak tahun 1970-an, adalah sejak pemerintah negeri itu mendirikan sekolah film serta mendukung berbagai kursus. Pembinaannya dilakukan oleh Australian Film Comission (AFC), semacam Dewa Film atau BP2N kita sekarang ini. Maka itu langkah yang sudah betul kita lakukan pada dua dasawarsa lalu itu, kini harus mendapatkan perhatian kembali dari Pemerintah/BP2N serta semua organisasi perfilman.
Fakultas Film dan TV (FFT/IKJ) harus dibantu oleh dunia film agar semakin berkembang. Sebab inilah satu-satunya sumber tenaga film yang akademik. Tidak usah harus sampai seperti Australian Film & Radio School (AFTRS) di Sydney. Yang prioritas bagi pengembagan FFTV/IKJ adalah meningkatkan kemampuannya memberikan kuliah praktikum, serta mengembangkan mutu para pengaarnya. Beri kesempatan mereka untuk belajar lagi, luaskan orientasi mereka mengenai berbagai sistim pendidikan di luar negeri. Supaya jangan berkutat mengulang cara yang itu ke itu juga. Para dosen di Malaysia, tiap tahun diberi dana untuk melakukan perjalanan meluaskan pengetahuan dan orientasi.
Dewasa ini, kursus film bukan lagi hanya diselenggarakan Yayasan Citra. Penyelenggara kursus mengenai pembuatan film atau acting tersebar di berbagai tempat. Semua harus dibantu agar menjadi sumber pengadaan tenaga manusia film yang bisa diandalkan. Yakni dengan cara agar kurikulumnya benar, cara penyajiannya bagus, dan tenaga pengajanya memang orang yang qualified.
TEKNOLOGI PERFILMAN
Teknologi film bisa menunjang kreativitas. Cerita semacam The Moby Dick, kisah tentang pertempuran pelaut dengan ikan paus putih raksasa di tengah samudra, tidak bisa kita filmkan di sini. Karena kita tidak memiliki teknologi Blue Screen dan laut buatan yang diperlukan.
Teknologi yang mahal tidak mau digarap oleh pengusaha di Indoneia. Karena ramainya produksi film di negeri kita tidak menjamin akan terus berlangsung. Bisa saja tiba-tiba anjlog seperti pada tahun 1990-an. Padahal usaha teknologi perfilman sangat besar, untuk pengembalian modalnya memerlukan waktu panjang. Dengan begitu tugas ini harus diambil oleh Pemerintah. Kalau tidak, maka pengadaan teknologi modern tidak akan pernah kita miliki, sebagaimana terjadi sekarang.
Proyek teknologi film tersebut bisa diselenggarakan di kompleks bekas PFN. Sekitar 20 tahun lalu saya dimintai memberi pendapat oleh Departemen Keuangan mengenai maksud Pemerintah untuk melikuidasi PFN, yang saat itupun sudah tidak berfungsi, tapi terus menge-luarkan biaya. Saya bertahan agar kompleks PFN tetap menjadi milik dunia film. Alasan saya antara lain, bahwa kompleks itu bisa digunakan sebagai Pusat Teknologi Film Nasional. PFN tidak jadi diuangkan, tapi juga tetap saja jadi kompleks tidak berguna. Sekarang saatnya BP2N menguasahakan agar kompleks bekas PFN ini bisa bermanfaat bagi pembangunan perfilman nasional.
Di kompleks PFN ini ada ruang studio besar yang memenuhi syarat, ada show room, ada ruang bioskop, labora-torium cuci/cetak film seluloid, fasilitas pembuatan animasi, dan halaman dimana bisa dibangun blue screen dan semacam-nya. Laboratorium di kompleks PFN ini pernah disurvai oleh ahli dari Australia untuk bisa menghasilkan processing film yang baik. Lab ini bisa melaksanakan tugas processing yang tidak mampu dilakukan oleh laboratorium milik swasta.
PEMASARAN
Pada masa Dewan Film, didirikan PERFIN, perusahaan yang bertugas meng-koordinasikan peredaran film nasional, agar pemilik film punya posisi lebih kuat terhadap bioskop dan pembeli, serta agar tidak terjadi jegal menjegal antar sesama film nasional dalam peredarannya. Kinerja Perfini ini belum pernah dievaluasi secara terbuka. Tapi dewasa ini masih banyak produser dari masa itu yang masih bisa ditanya. Kita memerlukan satu koordinasi peredaran yang bisa memperkuat industri film kita.
Lahan peredaran film kita juga harus diperluas. Di Indoneia sekarang cuma tinggal berapalah jumlah bioskopnya. Maka tahun 1980-an pernah dibentuk POKJA PROSAR, yakni Kelompok Kerja yang bertugas merintis perluasan pasar keluar negeri. Usaha pelaksanaanya separuh hati. Padahal Pokja itu sudah mulai berhasil membuka peluang-peluang penjualan film kita pada pasar-pasar film, film market, yang khusus diselengarakan di suatu tempat atau dikaitkan dengan penyelenggaaan festival. Tapi POKJA ini bubar begitu saja. Ya, itulah, kurang serius!
Produser kita tidak mampu menyewa kios di film market. Produser Australia juga begitu. Karena umumnya juga usaha mereka masih berbentuk home industry. Maka AFC, dengan dana Pemerintah, menyewakan kios dimaksud di berbagai pasar film, yang boleh digunakan oleh produser Australia. Produser yang hanya punya satu filmpun bisa menjual filmnya di situ. Apa iya pemerintah kita tidak mampu berbuat halyang sama?
Apakah film kita bisa laku di pasar luar negeri? Kenapa tidak?! Dulupun, film-film action potong kepala dan semacamnya laku, tentu saja dibeli untuk peredaran di Afrika atau Ameika Latin. Yang penting sebagai suatu industri, produks bisa banyak terjual dulu.
Yang tidak mahal, tapi sangat mendesak kita lakukan adalah melakukan promosi yang efektif. News Letter yang bermutu bisa disebar lewat kedutaan, ke distributor berbagai negara, dan di kesempatan festival. Para distributor dan pasar film harus mendapat informasi dan promosi secara rutin.
Perlu pula difikirkan kembali dengan seksama dibukanya pusat pemasaran kita di Amsterdam. Kota itu kita jadikan semacam etalase bagi peminat di Eropa. Hal ini juga dulu pernah dibahas sampai matang. Karena negeri Belanda sendiri bisa menjadi pembeli penting film kita, karena di sana sangat banyak orang yang berasal dari Indonesia.
PENUTUP
Langkah-langkah yang saya usulkan terhadap tiga hal di atas, kembali saya tekankan, sama sekali bukan ide brilian dan penemuan baru. Semua sudah pernah dibahas berkepanjangan, bahkan sudah ada yang mulai dilaksanakan. Tapi semua belalu tanpa perhatian dan usaha yang sungguh-sungguh. Bukan gagasannya yang salah. Maka itu saya pungut kembali beberapa yang pada tahap ini, tiga hal ini dululah yang menurut saya paling penting untuk ditangani. Agar ada focusing yang solid. Kemudian yang terpokok berikutnya adalah adanya kesungguhan untuk membangun perfilman kita. (*)