
“Bohong kalau dunia bisnis bioskop telah mati”, hal itu yang ditegaskan oleh Sutiono (61), seorang pemilik sejumlah bioskop di Jawa Timur.
Menurut pengusaha yang mengaku pernah menguasai 70 persen pasar bioskop di Jatim tsb, potensi bisnis bioskop masih sangat besar.
“Perhitungan saya, di Jakarta saja uang yang beredar di bisnis bioskop bisa mencapai Rp 50 miliar – Rp 100 Miliar per bulan. Di satu bisokop yang ramai, seperti di Plaza Senayan, saya menduga omzetnya bisa mencapai Rp 5 Miliar – Rp 7.5 Miliar per bulan”, ujar Setiono.
Dengan pola bagi hasil penjualan tiket sebesar 40 persen untuk pemilik film, 50 persen untuk pengusaha bioskop, dan 10 persen untuk pajak. Menurut Setiono, setiap pengusaha bioskop masih mendapatkan untung besar. “Biaya operasional, seperti bayar gaji pegawai dan listrik cukup diambil dari hasil penjualan popcorn dan minuman”, ujarnya.
Setiono mengakui, bisnis bioskop memang sempat terguncang dan anjlok gara-gara masuknya teknologi hiburan baru, seperti VCD dan DVD, dan maraknya TV swasta. Namun, semua itu tidak membuat masyarakat meninggalkan bioskop sama sekali. “Lihat saja film-film seperti Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi, orang masih rela antre untuk nonton bioskop”, tandas Setiono.
Dengan alsan ini, meski kerajaan bioskopnya sempat hancur di masa lalu, Setiono tetap mempertahanakan satu bioskopnya di Kota Malang dn bahkan membangun beberapa gedung baru di Lumajang, Jember dan Pasuruan. “Yang di Malang dan Pasuruan saya bekerja sama dengan pihak 21 sehingga masih bis memutar film-film baru. Sementara di Lumajang dan Jember seratus persen milik saya. Ya jadinya cuma bisa nunggu film yang sudah berumur 4-5 bulan”, ujarnya.
Ia menambahkan, jika ditunjang regulasi pemerintah dan sistem distribusi film yang lebih adil dan terbuka, bisnis bioskop akan berjaya kembali seperti era 1970-1980-an. “Saya tidak rela menutup bioskop – bisokop saya karena saya tahu persis di bisnis ini duitnya masih ada. Kecuali kalau penonton film sudah benar-benar habis”, kata Setiono.
Bagi Pesiden Direktur Blitz Megaplex Ananda Siregar, membangun bisokop dengan nilai investasi 3 juta – 4 Juta dolar AS per lokasi sebenarnya menguntungkan. Saat ini pun, meski hanya bisa memutar 14 judul film Indonesia (sampai Oktober) dan delapan judul pada tahun 2007, perolehan tiket di empat lokasi Blitz Megaplex di Bandung dan Jakarta melebihi biaya operasional alias untung. “Apalagi jika semua film Indonesia diputar di Blitz, ini akan optimal.”, terangnya.
Itulah mengapa Ananda pada akhir tahun 2009 akan menoperasikan Blitz Megaplex di sebuah Mall besar di Surabaya. Sementara di Medan dn Makassar masih dalam tahap penjajakan. “Pasar bisokop itu masih luas.”, kata Ananda.
Ia menambahkan , Blitz memutar 150 – 200 film setahun. ‘Pasar film Hollywood di Blitz adalah 14-18 persen. Jumlah yang besar mengingat Blitz hanya punya empat lokasi dan harga tiketnya lebih mahal.’, terang Ananda.
Sumber: ditulis kembali dari harian Kompas, Edisi Minggu 26 oktober 2008
Semoga dengan tulisan ini pasar perfilman kembali bergairah, tentu saja semua fihak harus pula menyadari bahwa film nasional bisa dijadikan garda depan dari kebudayaan kita. Bagi mereka yg terkait terutama di daerah2 bisa memberikan keleluasaan dan kelonggaran agar tumbuh kembang gedung perbioskopan sebagai cermin dan etalase dapat tumbuh seperti era 80 an.
BalasHapusKalau di lihat dari bioskop yang ada semuanya berorientasi atau kata lain bahwa 21 dan Blitz dibangun untuk film-film Hollywood tapi bukan untuk film Indonesia. Terus dimanakah film Indonesia akan dipertunjukkan?
BalasHapusKFN lahir untuk film Indonesia, itulah yang melatarbelakangi. Persoalan Film Nasional dari Era Usmar Ismail hingga saat ini adalah masalah Bioskop. Para pengusaha bioskop di negeri ini mendirikan bioskop bukan untuk film negeri ini. Semoga kami dapat mewujudkan melahirkan bioskop2 di seluruh negeri tercinta ini untuk film negeri tercinta ini pula dalam rangka menuju GRAND INDONESIA part two.
BalasHapus