
Ujung Tombak Industri Perfilman Indonesia
KEBERADAAN bioskop di Indonesia sudah berlangsung selama hampir 107 tahun, ter-hitung sejak adanya bioskop yang memutar film pertama kali yang dikenal sebagai "gambar idoep" di Batavia tanggal 5 Desember 1900. Bioskop mempunyai peranan yang strategis dan merupakan ujung tombak industri perfilman Indonesia, sekaligus menjadi tolok ukur keberhasilan produksi film Indonesia bagi masyarakat.
Sebagai mata rantai terakhir dalam tata niaga film, usaha perbioskopan tentu saja tidak bisa dilepaskan dari salah satu fungsi bioskop yaitu sebagai "etalasefilm".
Pengusaha bioskop telah bergabung dalam organisasi sejak 10 April 1955, melalui Kongres I yang diikuti oleh 51 pemilik bioskop. Tanggal tersebut akhirnya diakui sebagai kelahiran organisasi bioskop di Indonesia, walau kemudian berganti nama berkali-kali. Ketika itu bernama Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (PPBSI), yang akhirnya saat ini menjadi Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Pengusaha bioskop mempunyai komitmen terhadap kemajuan dan pengembangan industri perfilman Indonesia. GPBSI juga menjalin kerjasama dengan organisasi-organisasi perfilman lainnya.
Kiprah GPBSI dalam industri perfilman Indonesia terjadi pasang surut/fluktuasi sebagaimana terjadi pada industri perfilman di Indonesia. Pada era 1900-1942 disebut dengan tahap "layar membentang". Gambar yang disajikan ketika itu belum sempurna karena minimnya peralatan teknologi yang digunakan dalam bioskop tahap
awal tersebut.
Kemudian periode 1942-1949 disebut dengan tahap berjuang di garis belakang. Tahap ini dimulai ketika Jepang sudah mulai masuk ke Indonesia. Pada tahap tersebut, bioskop lebih digunakan sebagai alat propaganda Jepang.
Tahun 1952 hingga 1960 merupakan tahun keemasan bioskop di Indonesia. Jumlah bioskop ketika itu mencapai 890 buah, yang tidak terlepas dari ketersediaan beragam film untuk memuaskan berbagai macam penonton dari berbagai lapisan sosial. Jumlah penonton ketika itu mencapai 450 juta orang.
Tahun 1961 Jumlah bioskop kembali menurun menjadi 800 buah. Hal ini dikarenakan sektor perbioskopan menghadapi kendala dalam permasala-han mahalnya ongkos distribusi film.
Bioskop kembali mengalami puncak masa jayanya pada tahun 1990, di mana pada tahun tersebut Jumlah bioskop di Indonesia mencapai titik tertinggi yaitu 2.600 buah dengan 2.853 layar, dan Jumlah penonton mencapai 312 juta orang.
Era 1991-2002 terjadi keterpurukan bagi usaha perbioskopan di Indonesia secara drastis. Dari Jumlah 2.600 pada tahun 1990, tinggal 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002. Kendala yang dihadapi adalah maraknya televisi swasta, tv kabel dan pembajakan terhadap film lewat VCD dan DVD. Hiburan alternatif melalui media televisi yang mampu menerobos memasuki setiap rumah dan bisa dinikmati secara gratis.
Kemudian antara tahun 2003 hingga 2007 kembali terjadi peningkatan Jumlah bioskop di Indonesia. Dari 264 bioskop dengan 676 layar di tahun 2002 menjadi 483 bioskop dengan 959 layar pada pertengahan tahun 2007. Namun itupun hanya berkembang di kota-kota besar saja khusunya di mal-mal dan pusat perbelanjaan. Artinya, bioskop yang ada baru hanya sekedar memenuhi kebutuhan pasar film Indonesia di lapisan menengah ke atas, yang diperkirakan hanya sekitar 25% dari Jumlah penonton di Indonesia.
Jumlah bioskop yang tersebar di wilayah Jadebotabek mencapai hampir 60%, sedangkan di daerah provinsi dan kabupaten lain mendapat imbas dengan ditutupnya seluruh bioskop menengah ke bawah.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi digital, dan pelayanan untuk masyarakat penonton yang memadai, adalah suatu tantangan bagi dunia perbioskopan khususnya, untuk bersama-sama membuka pasar film yang lebih luas lagi di Indonesia. Minimal untuk tahap pertama, perlu adanya "regulasi" dan "political will" dari pemerintah untuk berkembanganya pasar film Indonesia di seluruh provinsi dan selanjutnya di setiap kabupaten.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penonton, idealnya untuk lima tahun ke depan diperlukan 3.000 gedung bioskop dengan 15.000 layar. Upaya untuk mencapai hal tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, perlu adanya penelitian dan pengkajian terhadap jumlah penonton film Indonesia dan pendapatan dari hasil pertunjukan di bioskop.
Kedua, perlu adanya tatanan yang jelas dari paska produksi, distribusi dan eksibisi antara GPBSI, PPFI dan Pemerintah. Untuk itulah keberadaan bioskop saat ini harus dikembangkan khususnya gedung bioskop kelas menengah kebawah di seluruh Indonesia yang pada akhirnya akan membantu para produser/pemilik film dalam mendistribusikan filmnya ke bioskop-bioskop.
Ketiga, perlu diciptakan pendistribusian yang sehat, adil dan transparan antara pemilik bioskopdan pemilikfilm.
Keempat, pemerintah perlu memberikan keringanan tarif listrik (PLN), karena beban terberat bagi operasional bioskop adalah pada pembayaran listrik, serta menurunkan pajak tontonan di seluruh Indonesia maksimal atau paling tinggi 10%.
Kelima, perlu adanya satu sistem dalam perfilman Indonesia yang yang diatur dengan Undang-Undang Perfilman. Karena Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman sudah tidak relevan lagi untuk dilaksanakan. Untuk itu Undang-Undang tersebut perlu segera direvisi sehingga bisa menjadi acuan bagi insan perfilman dan pemerintah di kemudian hari. Hakikatnya, Undang-Undang tersebut memiliki nilai-nilai pemberdayaan, pengembangan dan kemandirian/independen.
Dengan adanya Festival Film Indonesia (FFI) yang kembali diselenggarakan sejak 2004, para pengusaha bioskop yang tergabung dalam GPBSI mendukung sepenuhnya, karena FFI merupakan ajang prestasi, apresiasi, kompetisi dan sekaligus menjadi motivasi bagi insan perfilman Indonesia. GPBSI menyarankan hendaknya FFI dapat di selenggarakan terus setiap tahun. (***)
(sumber: Artikel DOKUMENTASI PERFILMAN INDONESIA)
masih banyak tambahan, salah satu, perlu membangun bioskop2 di daerah (lihat konsep KFN). kemudian perlu adanya pembiayaan produksi....
BalasHapusKeringan seperti listrik, pajak tonotnan dll. sebetulnya tidak begitu perlu. Tapi bagaimana menggairahkan produksi film dengan thema2 lokal, dan untuk ini memang dibutuhkan kebijakan pemerintah seperti diatas, membangun infrastruktur dan membuat lembaga pembiayaan.
BalasHapusTelah terjadi diskusi yang menarik ketika kami mengunjungi PPKI2010 di JCC. Lola sebagai sutradara menyatakan bahwa filmnya ditulis oleh banyak media dan 80% menulis baik, tapi kenapa filmnya sdh tidak beredar lagi. Saat itu pihak 21 hadir, diwakili oleh Norca... dia menyatakan bahwa tidak beredarnya film Lola bukan karena 21 tidak suka tapi karena aturan yang ada memang begitu bahwa setiap film jika penontonnya sdh pada batas minimal makan film itu secara otomatis akan digantikan oleh film lain... batas minimalnya berapa gak dikasih tahu...ada yang tahu gak?
BalasHapus